DENPASAR-BALI, (PERAK).- Yayasan Dwijendra yang berkedudukan di Jalan Kamboja Nomor 17 Denpasar, yang saat ini sedang mengalami kekisruhan terkait adanya dualisme klaim kepengurusan yayasan tersebut semakin rumit.
Permasalahan ini terkait soal kepengurusan yang sah dalam kepemimpinan di Yayasan Dwijendra, dan ada dua kubu yang mengklaim tersebut saling beradu argumentasi hingga timbul perdebatan yang sengit.
Kedua kubu tersebut antara Dr. Drs. Made Sumitra Candra Jaya, MHum., sebagai ketua Yayasan Dwijendra periode 2013-2018 maupun kubu Dr. I Ketut Wirawan SH., MHum., yang saat ini masih sama-sama mengklaim sebagai pengurus sah yayasan tersebut.
Sebenarnya kekisruhan yang terjadi di yayasan tersebut sudah lama. Tapi puncak dari kekisruhan ini, yang terakhir mengakibatkan terjadinya aksi pengerahan massa yang dilakukan oleh pihak kubu Ketut Wirawan, karena tidak diizinkan memasuki area kampus Dwijendra pada Senin 26 November 2018 kemarin dan juga yang sebelumnya terjadi pada Rabu 14 November 2018.
Mengenai aksi pada 26 November 2018 kemarin, Candra Jaya dalam pernyataan persnya mengatakan, bahwa pihaknya tidak mengizinkan pihak Ketut Wirawan memasuki area kampus, lantaran pihak Candra Jaya beranggapan bahwa pihak Ketut Wirawan akan melakukan pelantikan untuk mengambil alih yayasan.
Pihak Candra Jaya bertahan lantaran mereka menganggap kepengurusan Ketut Wirawan tidak sah menurut hukum dan proses pemilihan Ketut Wirawan sebagai ketua yayasan yang baru tidak memiliki legal standing.
“Mereka alasan sembahyang, membonceng pengurus yang diangkat pembina 4 orang, mau dilantik disini untuk masuk ke yayasan ini. Dia mau mengambil alih yayasan ini kemarin. Maka dari itu, saya perintahkan untuk menutup gerbang,” ujarnya saat menggelar konferensi pers, Kamis (29/11).
Candra Jaya mengatakan dirinya tidak berkeberatan untuk diganti, mengingat periode kepemimpinannya yang berakhir pada 20 September 2018 yang lalu. Namun, ia merasa telah diperlakukan tidak adil oleh beberapa pihak Dewan Pembina karena menggantinya dengan semena-mena.
Dirinya merasa tidak ada melakukan kesalahan yang fatal, yang merugikan yayasan, baik itu melakukan korupsi maupun mencemarkan nama baik yayasan. Ia mengatakan, tiba-tiba empat orang dari enam orang dewan pembina melakukan rapat untuk mengganti dirinya sebagai ketua yayasan pada 12 Maret 2018 yang lalu, padahal masa jabatannya seharusnya habis pada 20 September 2018.
“Saya diberhentikan secara sewenang-wenang, alasannya tidak jelas. Paling tidak saya harus ada kesalahan yang fatal, saya merugikan yayasan, saya melakukan korupsi, saya mencoreng nama baik yayasan. Masak hanya karena saya membangun gedung 5 lantai, dan membangun sekolah di Peguyangan saya dipermasalahkan (diberhentikan paksa). Makanya saya kemudian menggugat keputusan mereka tersebut,” ujarnya.
“Bukan saya tidak mau diganti, tapi saya merasa didzolimi. Saya seharusnya habis 20 September 2018, namun saya mau diganti 12 Maret 2018. Itu yang membuat saya sakit hati,” ungkap Candra jaya.
Sementara itu, tim hukum Candra Jaya, Nyoman Gede Sudiantara alias Ponglik menerangkan, bahwa pihak Ketut Wirawan tidak memiliki legal standing dalam mengklaim dirinya sebagai pengurus di Yayasan Dwijendra yang baru.
“Pada aksi massa tanggal 26 November 2018, mereka tidak mau dan tidak bisa menunjukkan keabsahan itu (dokumen pengesahan dari Kemenkumham), malah justru mengalihkan topik dan memprovokasi. Jadi apa yang mereka klaim itu, sampai sekarang belum bisa menunjukkan pembina dan pengurus yang sah,” ujarnya.
Lanjut Ponglik, bahwa saat ini masih ada proses hukum terkait PMH dalam penggunaan dana yayasan yang diduga ada unsur penyalahgunaan atau korupsi ini masih ditunggu untuk kejelasannya sampai prosesnya selesai,” ungkapnya. (Yd/Tim)